(di kutip dari ijoitem_group@yahoo.groups.com)
Salam 'alaikum..
Senang melihat kawan-kawan komisariat dah punya milis dan website sendiri...abang sangat mengapresiasi semangat dan usaha kawan-kawan semua,
Terkadang dalam perjalanan komisariat kita banyak menemukan noktah-noktah degradasi semangat dan konsistensi dalam mengemban amanah selama berproses di organisasi.
Meskipun amanah tersebut tidaklah menyangkut hajat hidup orang banyak, namun secara langsung amanah tersebut sangat signifikan bagi pembentukan karakter pribadi yang bersangkutan, pribadi yang terlibat dalam organisasi yang kita kenal dengan HMI.
Sebagai orang yang telah menyelesaikan kesempatan belajar di HMI Komisariat FKM USU, jujur saya mengatakan bahwa "there is so much thing i've got from our community"..
Namun saya yakin bahwa ini sangat subjektif sekali bagi kita menilainya...
Saya hanya bisa berharap semoga kawan-kawan yang mendapat kesempatan berproses di Komisariat bisa bener-bener melihat secara POSITIF seluruh proses yang ada...karena setahu saya dengan kacamata positif lah kita mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang bisa menyadarkan kekurangan-kekurangan kita pada masa yang telah lalu..Sesuatu yang jika kita aplikasi dalam keseharian kita pada masa yang akan datang akan bisa membuat perubahan bagi diri kita..
Beberapa kali saya sempat berdiskusi dengan para Ketum Komisariat..Hampir seluruhnya mensepakati bahwa proses yang kita lewati selama di HMI masing-masing punya kontribusi yang SANGT BERARTI bagi kita...Secara jujur ini smeua akan kita AKUI setelah keluar dari sistem tersebut. Setelah kita menjadi ALUMNI ataupun SENIOR di HMI.
Namnun juga saya melihat miris akan kenyataan yang banyak saya lihat pada kawan-kawan di HMI Komisariat FKM USU terutama kawankawan yang telah menjadi ALUMNI...banyak daripada kita yang "KEBINGUNGAN" dengan potensi dan kemampuan diri masing-masing, banyak yang merasa tidak siap menghadapi berbagai PERSOALAN nyata di dalam kehidupan...Akhirnya banyak yangv menjadi PECUNDANG bagi diri mereka sendiri...
Jujur saya katakan selama anda masih menikmati waktu bersama komisariat maka cermati seluruh proses yang ada yang telah anda lewati sehingga tidak berlalu dengan penuh kesia-siaan semata.
Dinamika kritik dan siap di kritik harus senantiasa dibangun dalam kesadaran dan keseharian kita semua...Keberanian untuk berani mengambil berbagai KEPUTUSAN RADIKAL dalam diri harus bisa dilakukan...karena ini yang menjadikan kita bukan sebagai KADER YANG BIASA-BIASA saja....
Optimislah dalam menghadapi berbagai persoalan yang mendera kita semua, dan yakinlah bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan...karena masalah terlahir untuk diselesaikan..dan proses menyelesaikan masalah secara bijak dan dengan penuh semangat positiflah akan melahirkan kita sebagai manusia baru...Semangat baru dan energi positif dalam menjalani proses kehidupan..Kehidupan berorganisasi maupun kehidupan di riil di masa yang akan datang...
Selamat berproses..selamat berjibaku sebagai pengurus komisariat dan yakinlah apa yang kita lakukan tidak sia-sia...
Yakin diri dalam melakukan usaha, pasti lah sampai..
YAKIN USAHA SAMPAI
17/11/08
14/11/08
Ebook islamy gratis
Astaghfirullah......
ternyata Al Qur'an dapat menghitung dengan tepat kecepatan cahaya....
lebih detail, silahkan download file ini.
Download (klik untuk download!!)
buat yang suka baca buku ato novel cari di www.freedigibook.co.cc
ternyata Al Qur'an dapat menghitung dengan tepat kecepatan cahaya....
lebih detail, silahkan download file ini.
Download (klik untuk download!!)
buat yang suka baca buku ato novel cari di www.freedigibook.co.cc
13/11/08
Hati Tikus
Berdasarkan cerita sebuah dongeng dari India kuno. ada seekor tikus yang selalu tertekan karena ketakutan kepada seekor kucing. Ada seorang tukang sihir yang selalu memperhatikan perilaku tikus tersebut, tak jarang si tukang sihir menyengajakan menyediakan waktunya untuk memperhatikan si tikus tersebut. Di malam hari saat si tikus akan mencari makan si tikus tampak kebingungan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tepat di depan sarangnya ternyata si kucing sedang mondar-mandir menunggu buruannya. Kemudian setelah larut malam, si kucingpun tertidur tapi ternyata si tikus tetap tak berani keluar. Ia takut kalau tiba-tiba kucing itu bangun dan menangkapnya. Ia takut cakar tajam si kucing menancap di perutnya. Ia takut kalau larinya tak cukup cepat agar dapat terhindar dari si kucing. Ia takut… Ia benar-benar ketakutan. Begitu selalu tiap malamnya hingga si tikuspun makin hari makin kurus dan lemah akibat jarang makan. Si tukang sihirpun merasa kasihan . tukang sihir kemudian merubah si tikus menjadi seekor kucing. Tetapi kemudian ia mulai merasa takut pada anjing. Maka tukang sihir merubahnya menjadi anjing. Kemudian ia menjadi takut pada harimau. Kemudian nenek sihir merubahnya menjadi harimau. Harimau yang takut pada pemburu. Tukang sihirpun menyerah lalu berkata “apapun yang saya lakukan tidak akan membantumu, karena kau memiliki hati seekor tikus.”
Sebenarnya kalau di tanyakan kepada saya, “Adakah orang yang tidak memiliki rasa takut ?” saya pasti akan menjawab “tak seeorangpun!!” selama orang tersebut sehat jiwa raga. Atau orang tersebut tidak sedang patah hati . Takut jatuh, takut dimarahi guru, takut ketinggian , takut binatang, takut bicara di depan umum, takut lawan jenis , takut mati, Bahkan takut hidup!. Semua orang punya rasa takut. Sayangnya tidak semua orang yang mampu mengatasi rasa takutnya ini. Banyak orang yang “pintar” dengan persiapan penuh tapi jadi “ pecundang” saat mempresentasikan pemikirannya di depan umum lantaran tak mampu mengatasi rasa takutnya. Banyak orang atau mungkin Anda sendiri yang padahal pantas tapi harus menunggu bertahun-tahun lantaran tak mampu mengungkapkan perasaannya (pernah nonton Alexandria?? ).
Anda, Saya, Mereka sadar bahwasanya ketakutan-ketakutan itu telah menghamburkan banyak kesempatan berharga. Kita tahu bukan karena tidak mampu maka kita tak melakukannya. Tapi karena takut.
Dulu, pada masa saya kanak, saya sungguh sangat takut untuk ke kamar mandi. Saya takut kalau-kalau tiba-tiba keluar tangan dari lubang closed atau seketika air berubah jadi darah atau “si cantik jembatan ancol” muncul sekonyong-konyong di pintu kamar mandi. Saya rela harus tidak tidur menahan pipis dari pada harus ke kamar mandi tengah malam yang jaraknya hanya 10 langkah dari pintu kamarku. Tapi pada akhirnya saya berpikir, “mereka” ada dimana-mana dikamar, di wc, di ruang tamu, di kelas, di kantor, di mesjid. So what?!. Kalau saya takut di kamar mandi mestinya saya takut juga di kamar?!. “Mereka”-kan juga di kamar??.. ha!!!.. lalu saya langkahkan kaki saya pertama kali di tengah malam tanpa ditemani siapapun dan melepas semua hajat. Tak lupa say hi to miss “si cantik jembatan ancol” yang lagi nongkrong di pintu kamar mandi, saya kuras air darahnya dan siram tangannya biar lolos masuk closed. Bohong. Nah saya berhasil mengatasi rasa takut saya dan lihat betapa beruntungnya!
Saya tidak mengatakan bahwa kita harus menghilangkan rasa takut kita terhadap sesuatu. melainkan kita harus mampu mengatasi rasa takut itu. Mengatasi dalam arti memanipulasinya. Saya pernah terkagum-kagum pada seorang pembalap yang dengan beraninya melewati rintangan-rintangan maut. Ia menuntaskannya. Pada saat itu saya berpikir orang itu tak memiliki rasa takut. Tapi di akhir acara saat si pembalap di wawancarai dengan jujur dia menjawab dia takut. Aneh!. Namun kemudian saya sadar, justru “takut”nyalah yang membantunya tetap waspada dan tetap fokus. Ya pembalap ini berhasil mengatasi takutnya.
Bersambung…(teman!! Nulis kenapa??)
By: Yori VT
Senoritas Bukanlah Kekerasan By: Reni M Lirista
Kata senioritas sudah sering kita dengar, baik di kampus, sekolah, tempat kerja, maupun di lingkungan sekitar kita. Mungkin awalnya bertujuan positif yaitu membentuk kedisipilinan bagi para juniornya, tetapi sangat jarang dilakukan dengan cara-cara yang bersifat positif. Karena kebanyakan tindakan-tindakan yang didasari pembentukan kedisiplinan tersebut dilakukan dengan cara kekerasan. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung. Mulai dari hal-hal ringan sampai kelas beratnya. Sudah seperti olahraga tinju saja.
Senioritas memang perlu untuk ada dalam sebuah institusi demi menjaga sebuah hirarki penghormatan terhadap yang lebih "senior". Senior bukan hanya sebagai umur saja, tapi bisa banyak hal seperti pangkat, jabatan, technical skill, dsb. Tapi apa dengan adanya senioritas bisa semena-mena? Tidak, kawan!! Banyak hal positif yang bisa kita lakukan dengan adanya senioritas. Salah satunya dengan membimbing junior atau bawahan kita dalam melakukan pekerjaan atau pendidikan yang akan dihadapinya.
Sama halnya di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Kekerasan selalu terjadi atas nama senioritas. Mahasiswa-mahasiswa baru (junior) selalu ditindas oleh mahasiswa-mahasiswa lama (senior). Contoh yang paling buruk dan memalukan adalah peristiwa yang terjadi di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dan STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) yang belakangan ini sangat marak beritanya. Bagaimana bangsa Indonesia mau maju, kalau generasi-generasi bangsa tidak punya moral yang tahunya hanya melakukan kekerasan seperti tukang pukul. Memangnya pendidikan tempat mencetak preman-preman?? Buat apa pendidikan tinggi, toh hasilnya seperti itu.
Kekerasan yang terjadi di IPDN dan STIP yang menewaskan beberapa mahasiswa seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Bahwa kekerasan yang dilakukan tidak memberikan hal yang positif bagi kita. Mungkin pada dua sekolah tersebut masih menggunakan sistem militer sehingga kekerasan merupakan hal yang wajar. Tetapi apakah tidak ada standard atau batasannya?? Masa sampai menghabiskan nyawa orang lain? Sangat tidak manusiawi.
Seperti aksi kekerasan massal yang terjadi di STIP. Aksi kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior ini ada rekaman videonya. Pada rekaman tersebut tampak puluhan junior dibariskan ke dinding dengan baju terbuka, sementara para senior berbaris dan bergiliran melakukan pemukulan. Terlihat juga, para junior itu mendapat tamparan bertubi-tubi di bagian wajah, dan mendapat tinju keras di bagian sekitar perut. Sembari tertawa-tawa, para senior itu tidak memperdulikan ekspresi ketakutan dan kesakitan dari para junior mereka.
Pada 11 Mei lalu, salah seorang mahasiswa STIP bernama Agung Bastian Gultom, ditemukan tewas seusai mengikuti latihan pedang pora di kampus STIP yang terletak di Marunda, Jakarta Utara. Latihan pedang pora yang diikuti oleh Agung merupakan kegiatan wajib yang diikuti taruna tingkat satu. Mereka dilatih 14 taruna tingkat dua. Setiap ada taruna yang melakukan kesalahan, deraan fisik segera menimpa mereka. Taruna dimaki-maki, dipukul, ditendang, dan ditinju.
Kasus penganiayaan para senior terhadap junior di STIP bukan yang pertamakali terjadi di Indonesia. Kasus serupa juga pernah terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Pada kasus ini yang menjadi korban terakhir adalah Cliff Muntu, praja tingkat II Institut Pendidikan Dalam Negeri Jatinangor, Jawa Barat. Kematian mahasiswa asal Manado, Sulawesi Utara, itu dinilai tidak wajar dan mencurigakan. Penganiayaan yang menewaskan Cliff Muntu tersebut menambah panjang daftar kasus kekerasan di lembaga pendidikan ilmu pemerintahan ini. Menurut catatan, sejak tahun 1990 hingga 2004 setidaknya terjadi 35 penganiayaan berat yang berakibat pada kematian. Sebagian kasus kekerasan terjadi antara praja senior terhadap juniornya.
Tak tanggung-tanggung, tinju dengan kepalan tangan telanjang di arahkan kebagian perut tepatnya ulu hati ini menimbulkan kesakitan yang sangat luar biasa tentunya. Apalagi ”korban” harus menerima pukulan tersebut secara sukarela tanpa adanya perlawanan. Sedangkan petinju profesional yang sudah banyak berlatih saja masih ada yang roboh saat ulu hatinya dikenai tinju lawan, walaupun pukulan yang diterimanya berasal dari kepalan tangan yang menggunakan sarung. Ironisnya, pukulan-pukulan seperti ini istilahnya sudah menjadi makanan sehari-hari yang di dapat junior dari seniornya.
Begitu juga pada perguruan tinggi, di awal tahun ajaran baru. Pasti ada yang namanya Osmaba atau Ospek atau apapun namanya. Awalnya kegiatan ini bermotif pengenalan (orientasi) pada kampus dan menjalin kedekatan emosional dengan senior, serta katanya membentuk mental mahasiswa baru. Tetapi kenyataannya kekerasan-kekerasan yang lebih banyak di dapat daripada tujuan awalnya. Tidak hanya kekerasan psikis, tetapi kekerasan fisik pun masih sering di dilakukan. Misalnya saja, mahasiswa baru disuruh melakukan hal-hal yang tidak masuk akal kalau tidak bisa dikerjakan maka akan disuruh push up atau bahkan sampai dipukul atau ditampar.
Tidak hanya kekerasan fisik, para senior juga sering melontarkan kata-kata cacian dan makian kepada juniornya bila tidak dapat melakukan hal-hal ynag diperintahkannya. Cacian dan makian yang dilontarkan sama sekali tidak menunjukkan ciri mahasiswa sebagai orang yang mempunyai intelektualitas yang tinggi. Sama sekali tidak berpendidikan.
Bagi sebagian mahasiswa baru (junior), hal tersebut merupakan pelajaran yang akan diteruskan ke mahasiswa baru berikutnya. Maka tidak ada salahnya jika dikatakan tindakan-tindakan kekerasan seperti ini sudah menjadi tradisi turun-temurun di berbagai perguruan tinggi Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bersama, hal-hal yang sudah menjadi tradisi sangat sulit untuk dihentikan. Sudah berbagai upaya dilakukan untuk meniadakan kegiatan-kegiatan seperti ini, tetapi hasilnya selalu saja terjadi lagi...lagi...dan lagi.
Menurut saya, tindakan-tindakan kekerasan seperti ini dilakukan senior hanya untuk menunjukkan kekuasaannya di kampus dengan status senioritas yang disandangnya. Dan kebanyakan senior-senior yang melakukan kekerasan tersebut merupakan salah satu mahasiswa yang prestasinya kurang baik di bidang akademis. Nah, disinilah saatnya mereka menunjukkan kekuasaan atau kesombongannya agar tidak dianggap rendah oleh juniornya.
Tindakan-tindakan kekerasan seperti ini akan membentuk lingkaran kekerasan yang sangat kokoh dan sulit untuk dihancurkan. Artinya akan terus dan terus berlanjut tanpa henti. Apakah generasi seperti ini yang akan meneruskan perjuangan para pahlawan, yang katanya ingin mengisi kemerdekaan, yang akan membangun bangsa. Tidak!! Manusia-manusia seperti ini hanya cocok jadi preman pasar daripada penerus bangsa. Sangat memalukan!!
Inti dari kejadian-kejadian seperti ini adalah kurangnya pemahaman yang dimiliki mereka yang melakukan tindakan kekerasaan tersebut tentang arti “senioritas”. Karena yang ada dibenak mereka senioritas itu berarti senior menindas junior dengan menunjukkan kekuasaannya sebagai senior yang katanya lebih banyak tahu segala hal. Kita semua juga tahu bahwa pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang sangat keliru.
Senioritas tidak harus dilakukan dengan menunjukkan kekuasaan atau kesombongan, tidak pula dengan kekerasaan-kekerasaan yang berlebihan, dan tidak pula dengan cacian dan makian yang tidak penting karena tidak melakukan hal-hal yang juga tidak penting yang diperintahkan senior kepada junior. Banyak hal-hal positif yang bermanfaat yang dapat dilakukan oleh para senior untuk juniornya.
Pada dasarnya mahasiswa baru yang masuk ke perguruan tinggi hanya menginginkan satu hal, yaitu pendidikan untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Nyatanya, bagaimana masa depannya baik jika dalam masa studinya banyak mendapatkan kekerasan-kekerasaan baik fisik maupun psikis. Mungkin bagi sebagian besar mahasiswa hal tersebut tidak berpengaruh apa-apa bagi kehidupannya, tetapi tidak sedikit pula yang menderita karenanya. Misalnya saja, kekerasaan fisik yang di dapatnya saat melaksanakan studi menimbulkan dampak pada dirinya, kecacatan misalnya, yang pada awalnya tidak menunjukkan gejala apapun. Begitu juga dengan mahasiswa IPDN atau STIP yang menjadi korban kekerasaan hingga merenggut nyawanya. Cita-citanya menjadi pegawai negeri atau pelaut yang juga sangat dibanggakan orang tua dan keluarganya jadi lenyap begitu saja.
Jadi, apakah sebenarnya arti dari senioritas itu?? Satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa senioritas bukanlah kekerasan. Maka dari itu, mari bersama-sama kita buang jauh persepsi bahwa senioritas identik dengan kekerasaan. Bersama kita ”stop kekerasaan” dan menciptakan generasi bangsa yang cinta damai untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia di hadapan dunia.
by: Reni M Lirista Sinaga
Senioritas memang perlu untuk ada dalam sebuah institusi demi menjaga sebuah hirarki penghormatan terhadap yang lebih "senior". Senior bukan hanya sebagai umur saja, tapi bisa banyak hal seperti pangkat, jabatan, technical skill, dsb. Tapi apa dengan adanya senioritas bisa semena-mena? Tidak, kawan!! Banyak hal positif yang bisa kita lakukan dengan adanya senioritas. Salah satunya dengan membimbing junior atau bawahan kita dalam melakukan pekerjaan atau pendidikan yang akan dihadapinya.
Sama halnya di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Kekerasan selalu terjadi atas nama senioritas. Mahasiswa-mahasiswa baru (junior) selalu ditindas oleh mahasiswa-mahasiswa lama (senior). Contoh yang paling buruk dan memalukan adalah peristiwa yang terjadi di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dan STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) yang belakangan ini sangat marak beritanya. Bagaimana bangsa Indonesia mau maju, kalau generasi-generasi bangsa tidak punya moral yang tahunya hanya melakukan kekerasan seperti tukang pukul. Memangnya pendidikan tempat mencetak preman-preman?? Buat apa pendidikan tinggi, toh hasilnya seperti itu.
Kekerasan yang terjadi di IPDN dan STIP yang menewaskan beberapa mahasiswa seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Bahwa kekerasan yang dilakukan tidak memberikan hal yang positif bagi kita. Mungkin pada dua sekolah tersebut masih menggunakan sistem militer sehingga kekerasan merupakan hal yang wajar. Tetapi apakah tidak ada standard atau batasannya?? Masa sampai menghabiskan nyawa orang lain? Sangat tidak manusiawi.
Seperti aksi kekerasan massal yang terjadi di STIP. Aksi kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior ini ada rekaman videonya. Pada rekaman tersebut tampak puluhan junior dibariskan ke dinding dengan baju terbuka, sementara para senior berbaris dan bergiliran melakukan pemukulan. Terlihat juga, para junior itu mendapat tamparan bertubi-tubi di bagian wajah, dan mendapat tinju keras di bagian sekitar perut. Sembari tertawa-tawa, para senior itu tidak memperdulikan ekspresi ketakutan dan kesakitan dari para junior mereka.
Pada 11 Mei lalu, salah seorang mahasiswa STIP bernama Agung Bastian Gultom, ditemukan tewas seusai mengikuti latihan pedang pora di kampus STIP yang terletak di Marunda, Jakarta Utara. Latihan pedang pora yang diikuti oleh Agung merupakan kegiatan wajib yang diikuti taruna tingkat satu. Mereka dilatih 14 taruna tingkat dua. Setiap ada taruna yang melakukan kesalahan, deraan fisik segera menimpa mereka. Taruna dimaki-maki, dipukul, ditendang, dan ditinju.
Kasus penganiayaan para senior terhadap junior di STIP bukan yang pertamakali terjadi di Indonesia. Kasus serupa juga pernah terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Pada kasus ini yang menjadi korban terakhir adalah Cliff Muntu, praja tingkat II Institut Pendidikan Dalam Negeri Jatinangor, Jawa Barat. Kematian mahasiswa asal Manado, Sulawesi Utara, itu dinilai tidak wajar dan mencurigakan. Penganiayaan yang menewaskan Cliff Muntu tersebut menambah panjang daftar kasus kekerasan di lembaga pendidikan ilmu pemerintahan ini. Menurut catatan, sejak tahun 1990 hingga 2004 setidaknya terjadi 35 penganiayaan berat yang berakibat pada kematian. Sebagian kasus kekerasan terjadi antara praja senior terhadap juniornya.
Tak tanggung-tanggung, tinju dengan kepalan tangan telanjang di arahkan kebagian perut tepatnya ulu hati ini menimbulkan kesakitan yang sangat luar biasa tentunya. Apalagi ”korban” harus menerima pukulan tersebut secara sukarela tanpa adanya perlawanan. Sedangkan petinju profesional yang sudah banyak berlatih saja masih ada yang roboh saat ulu hatinya dikenai tinju lawan, walaupun pukulan yang diterimanya berasal dari kepalan tangan yang menggunakan sarung. Ironisnya, pukulan-pukulan seperti ini istilahnya sudah menjadi makanan sehari-hari yang di dapat junior dari seniornya.
Begitu juga pada perguruan tinggi, di awal tahun ajaran baru. Pasti ada yang namanya Osmaba atau Ospek atau apapun namanya. Awalnya kegiatan ini bermotif pengenalan (orientasi) pada kampus dan menjalin kedekatan emosional dengan senior, serta katanya membentuk mental mahasiswa baru. Tetapi kenyataannya kekerasan-kekerasan yang lebih banyak di dapat daripada tujuan awalnya. Tidak hanya kekerasan psikis, tetapi kekerasan fisik pun masih sering di dilakukan. Misalnya saja, mahasiswa baru disuruh melakukan hal-hal yang tidak masuk akal kalau tidak bisa dikerjakan maka akan disuruh push up atau bahkan sampai dipukul atau ditampar.
Tidak hanya kekerasan fisik, para senior juga sering melontarkan kata-kata cacian dan makian kepada juniornya bila tidak dapat melakukan hal-hal ynag diperintahkannya. Cacian dan makian yang dilontarkan sama sekali tidak menunjukkan ciri mahasiswa sebagai orang yang mempunyai intelektualitas yang tinggi. Sama sekali tidak berpendidikan.
Bagi sebagian mahasiswa baru (junior), hal tersebut merupakan pelajaran yang akan diteruskan ke mahasiswa baru berikutnya. Maka tidak ada salahnya jika dikatakan tindakan-tindakan kekerasan seperti ini sudah menjadi tradisi turun-temurun di berbagai perguruan tinggi Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bersama, hal-hal yang sudah menjadi tradisi sangat sulit untuk dihentikan. Sudah berbagai upaya dilakukan untuk meniadakan kegiatan-kegiatan seperti ini, tetapi hasilnya selalu saja terjadi lagi...lagi...dan lagi.
Menurut saya, tindakan-tindakan kekerasan seperti ini dilakukan senior hanya untuk menunjukkan kekuasaannya di kampus dengan status senioritas yang disandangnya. Dan kebanyakan senior-senior yang melakukan kekerasan tersebut merupakan salah satu mahasiswa yang prestasinya kurang baik di bidang akademis. Nah, disinilah saatnya mereka menunjukkan kekuasaan atau kesombongannya agar tidak dianggap rendah oleh juniornya.
Tindakan-tindakan kekerasan seperti ini akan membentuk lingkaran kekerasan yang sangat kokoh dan sulit untuk dihancurkan. Artinya akan terus dan terus berlanjut tanpa henti. Apakah generasi seperti ini yang akan meneruskan perjuangan para pahlawan, yang katanya ingin mengisi kemerdekaan, yang akan membangun bangsa. Tidak!! Manusia-manusia seperti ini hanya cocok jadi preman pasar daripada penerus bangsa. Sangat memalukan!!
Inti dari kejadian-kejadian seperti ini adalah kurangnya pemahaman yang dimiliki mereka yang melakukan tindakan kekerasaan tersebut tentang arti “senioritas”. Karena yang ada dibenak mereka senioritas itu berarti senior menindas junior dengan menunjukkan kekuasaannya sebagai senior yang katanya lebih banyak tahu segala hal. Kita semua juga tahu bahwa pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang sangat keliru.
Senioritas tidak harus dilakukan dengan menunjukkan kekuasaan atau kesombongan, tidak pula dengan kekerasaan-kekerasaan yang berlebihan, dan tidak pula dengan cacian dan makian yang tidak penting karena tidak melakukan hal-hal yang juga tidak penting yang diperintahkan senior kepada junior. Banyak hal-hal positif yang bermanfaat yang dapat dilakukan oleh para senior untuk juniornya.
Pada dasarnya mahasiswa baru yang masuk ke perguruan tinggi hanya menginginkan satu hal, yaitu pendidikan untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Nyatanya, bagaimana masa depannya baik jika dalam masa studinya banyak mendapatkan kekerasan-kekerasaan baik fisik maupun psikis. Mungkin bagi sebagian besar mahasiswa hal tersebut tidak berpengaruh apa-apa bagi kehidupannya, tetapi tidak sedikit pula yang menderita karenanya. Misalnya saja, kekerasaan fisik yang di dapatnya saat melaksanakan studi menimbulkan dampak pada dirinya, kecacatan misalnya, yang pada awalnya tidak menunjukkan gejala apapun. Begitu juga dengan mahasiswa IPDN atau STIP yang menjadi korban kekerasaan hingga merenggut nyawanya. Cita-citanya menjadi pegawai negeri atau pelaut yang juga sangat dibanggakan orang tua dan keluarganya jadi lenyap begitu saja.
Jadi, apakah sebenarnya arti dari senioritas itu?? Satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa senioritas bukanlah kekerasan. Maka dari itu, mari bersama-sama kita buang jauh persepsi bahwa senioritas identik dengan kekerasaan. Bersama kita ”stop kekerasaan” dan menciptakan generasi bangsa yang cinta damai untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia di hadapan dunia.
by: Reni M Lirista Sinaga
06/11/08
Smoga tetap jadi kenangan
Tanganku melepasnya walau sudah tak ada
Hatimu tetap merasa masih memilikinya
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya
Pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna
Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya
Pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna
Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya
Tahun lalu..
Ada banyak hal yg kurasa aku memilikinya.. Yg kujaga untuk tetap kumiliki..walau akhirnya harus ku relakan kepergiannya..
by: Endah Puspita Sari(2 lirik doang, yang lain buatan Letto!!!)
resapi nilainya teman.. tak ada yang abadi..
01/11/08
Alquran digital | Yuuk ngaji pake komputer!!
, ShareAssalamu'alaikum.....
Setelah beberapa hari gak OL,,,
akhirnya KPP buat gebrakan baru lagi,,,,,
apa yaaaaa????
ini neh,,,,
link buat kamoe2 yang suka download.....
all about islam and some document to advise you....
so,,,,
jangan lupa di download ya....
alquran Digital : Download (klik untuk download!!)
Untuk Direnungkan.ppt : Download
Setelah beberapa hari gak OL,,,
akhirnya KPP buat gebrakan baru lagi,,,,,
apa yaaaaa????
ini neh,,,,
link buat kamoe2 yang suka download.....
all about islam and some document to advise you....
so,,,,
jangan lupa di download ya....
alquran Digital : Download (klik untuk download!!)
Untuk Direnungkan.ppt : Download
Langganan:
Postingan (Atom)