13/11/08

Senoritas Bukanlah Kekerasan By: Reni M Lirista


Kata senioritas sudah sering kita dengar, baik di kampus, sekolah, tempat kerja, maupun di lingkungan sekitar kita. Mungkin awalnya bertujuan positif yaitu membentuk kedisipilinan bagi para juniornya, tetapi sangat jarang dilakukan dengan cara-cara yang bersifat positif. Karena kebanyakan tindakan-tindakan yang didasari pembentukan kedisiplinan tersebut dilakukan dengan cara kekerasan. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung. Mulai dari hal-hal ringan sampai kelas beratnya. Sudah seperti olahraga tinju saja.
Senioritas memang perlu untuk ada dalam sebuah institusi demi menjaga sebuah hirarki penghormatan terhadap yang lebih "senior". Senior bukan hanya sebagai umur saja, tapi bisa banyak hal seperti pangkat, jabatan, technical skill, dsb. Tapi apa dengan adanya senioritas bisa semena-mena? Tidak, kawan!! Banyak hal positif yang bisa kita lakukan dengan adanya senioritas. Salah satunya dengan membimbing junior atau bawahan kita dalam melakukan pekerjaan atau pendidikan yang akan dihadapinya.

Sama halnya di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Kekerasan selalu terjadi atas nama senioritas. Mahasiswa-mahasiswa baru (junior) selalu ditindas oleh mahasiswa-mahasiswa lama (senior). Contoh yang paling buruk dan memalukan adalah peristiwa yang terjadi di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dan STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) yang belakangan ini sangat marak beritanya. Bagaimana bangsa Indonesia mau maju, kalau generasi-generasi bangsa tidak punya moral yang tahunya hanya melakukan kekerasan seperti tukang pukul. Memangnya pendidikan tempat mencetak preman-preman?? Buat apa pendidikan tinggi, toh hasilnya seperti itu.

Kekerasan yang terjadi di IPDN dan STIP yang menewaskan beberapa mahasiswa seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Bahwa kekerasan yang dilakukan tidak memberikan hal yang positif bagi kita. Mungkin pada dua sekolah tersebut masih menggunakan sistem militer sehingga kekerasan merupakan hal yang wajar. Tetapi apakah tidak ada standard atau batasannya?? Masa sampai menghabiskan nyawa orang lain? Sangat tidak manusiawi.
Seperti aksi kekerasan massal yang terjadi di STIP. Aksi kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior ini ada rekaman videonya. Pada rekaman tersebut tampak puluhan junior dibariskan ke dinding dengan baju terbuka, sementara para senior berbaris dan bergiliran melakukan pemukulan. Terlihat juga, para junior itu mendapat tamparan bertubi-tubi di bagian wajah, dan mendapat tinju keras di bagian sekitar perut. Sembari tertawa-tawa, para senior itu tidak memperdulikan ekspresi ketakutan dan kesakitan dari para junior mereka.

Pada 11 Mei lalu, salah seorang mahasiswa STIP bernama Agung Bastian Gultom, ditemukan tewas seusai mengikuti latihan pedang pora di kampus STIP yang terletak di Marunda, Jakarta Utara. Latihan pedang pora yang diikuti oleh Agung merupakan kegiatan wajib yang diikuti taruna tingkat satu. Mereka dilatih 14 taruna tingkat dua. Setiap ada taruna yang melakukan kesalahan, deraan fisik segera menimpa mereka. Taruna dimaki-maki, dipukul, ditendang, dan ditinju.

Kasus penganiayaan para senior terhadap junior di STIP bukan yang pertamakali terjadi di Indonesia. Kasus serupa juga pernah terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Pada kasus ini yang menjadi korban terakhir adalah Cliff Muntu, praja tingkat II Institut Pendidikan Dalam Negeri Jatinangor, Jawa Barat. Kematian mahasiswa asal Manado, Sulawesi Utara, itu dinilai tidak wajar dan mencurigakan. Penganiayaan yang menewaskan Cliff Muntu tersebut menambah panjang daftar kasus kekerasan di lembaga pendidikan ilmu pemerintahan ini. Menurut catatan, sejak tahun 1990 hingga 2004 setidaknya terjadi 35 penganiayaan berat yang berakibat pada kematian. Sebagian kasus kekerasan terjadi antara praja senior terhadap juniornya.

Tak tanggung-tanggung, tinju dengan kepalan tangan telanjang di arahkan kebagian perut tepatnya ulu hati ini menimbulkan kesakitan yang sangat luar biasa tentunya. Apalagi ”korban” harus menerima pukulan tersebut secara sukarela tanpa adanya perlawanan. Sedangkan petinju profesional yang sudah banyak berlatih saja masih ada yang roboh saat ulu hatinya dikenai tinju lawan, walaupun pukulan yang diterimanya berasal dari kepalan tangan yang menggunakan sarung. Ironisnya, pukulan-pukulan seperti ini istilahnya sudah menjadi makanan sehari-hari yang di dapat junior dari seniornya.

Begitu juga pada perguruan tinggi, di awal tahun ajaran baru. Pasti ada yang namanya Osmaba atau Ospek atau apapun namanya. Awalnya kegiatan ini bermotif pengenalan (orientasi) pada kampus dan menjalin kedekatan emosional dengan senior, serta katanya membentuk mental mahasiswa baru. Tetapi kenyataannya kekerasan-kekerasan yang lebih banyak di dapat daripada tujuan awalnya. Tidak hanya kekerasan psikis, tetapi kekerasan fisik pun masih sering di dilakukan. Misalnya saja, mahasiswa baru disuruh melakukan hal-hal yang tidak masuk akal kalau tidak bisa dikerjakan maka akan disuruh push up atau bahkan sampai dipukul atau ditampar.

Tidak hanya kekerasan fisik, para senior juga sering melontarkan kata-kata cacian dan makian kepada juniornya bila tidak dapat melakukan hal-hal ynag diperintahkannya. Cacian dan makian yang dilontarkan sama sekali tidak menunjukkan ciri mahasiswa sebagai orang yang mempunyai intelektualitas yang tinggi. Sama sekali tidak berpendidikan.
Bagi sebagian mahasiswa baru (junior), hal tersebut merupakan pelajaran yang akan diteruskan ke mahasiswa baru berikutnya. Maka tidak ada salahnya jika dikatakan tindakan-tindakan kekerasan seperti ini sudah menjadi tradisi turun-temurun di berbagai perguruan tinggi Indonesia.

Seperti yang kita ketahui bersama, hal-hal yang sudah menjadi tradisi sangat sulit untuk dihentikan. Sudah berbagai upaya dilakukan untuk meniadakan kegiatan-kegiatan seperti ini, tetapi hasilnya selalu saja terjadi lagi...lagi...dan lagi.

Menurut saya, tindakan-tindakan kekerasan seperti ini dilakukan senior hanya untuk menunjukkan kekuasaannya di kampus dengan status senioritas yang disandangnya. Dan kebanyakan senior-senior yang melakukan kekerasan tersebut merupakan salah satu mahasiswa yang prestasinya kurang baik di bidang akademis. Nah, disinilah saatnya mereka menunjukkan kekuasaan atau kesombongannya agar tidak dianggap rendah oleh juniornya.
Tindakan-tindakan kekerasan seperti ini akan membentuk lingkaran kekerasan yang sangat kokoh dan sulit untuk dihancurkan. Artinya akan terus dan terus berlanjut tanpa henti. Apakah generasi seperti ini yang akan meneruskan perjuangan para pahlawan, yang katanya ingin mengisi kemerdekaan, yang akan membangun bangsa. Tidak!! Manusia-manusia seperti ini hanya cocok jadi preman pasar daripada penerus bangsa. Sangat memalukan!!

Inti dari kejadian-kejadian seperti ini adalah kurangnya pemahaman yang dimiliki mereka yang melakukan tindakan kekerasaan tersebut tentang arti “senioritas”. Karena yang ada dibenak mereka senioritas itu berarti senior menindas junior dengan menunjukkan kekuasaannya sebagai senior yang katanya lebih banyak tahu segala hal. Kita semua juga tahu bahwa pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang sangat keliru.

Senioritas tidak harus dilakukan dengan menunjukkan kekuasaan atau kesombongan, tidak pula dengan kekerasaan-kekerasaan yang berlebihan, dan tidak pula dengan cacian dan makian yang tidak penting karena tidak melakukan hal-hal yang juga tidak penting yang diperintahkan senior kepada junior. Banyak hal-hal positif yang bermanfaat yang dapat dilakukan oleh para senior untuk juniornya.

Pada dasarnya mahasiswa baru yang masuk ke perguruan tinggi hanya menginginkan satu hal, yaitu pendidikan untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Nyatanya, bagaimana masa depannya baik jika dalam masa studinya banyak mendapatkan kekerasan-kekerasaan baik fisik maupun psikis. Mungkin bagi sebagian besar mahasiswa hal tersebut tidak berpengaruh apa-apa bagi kehidupannya, tetapi tidak sedikit pula yang menderita karenanya. Misalnya saja, kekerasaan fisik yang di dapatnya saat melaksanakan studi menimbulkan dampak pada dirinya, kecacatan misalnya, yang pada awalnya tidak menunjukkan gejala apapun. Begitu juga dengan mahasiswa IPDN atau STIP yang menjadi korban kekerasaan hingga merenggut nyawanya. Cita-citanya menjadi pegawai negeri atau pelaut yang juga sangat dibanggakan orang tua dan keluarganya jadi lenyap begitu saja.

Jadi, apakah sebenarnya arti dari senioritas itu?? Satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa senioritas bukanlah kekerasan. Maka dari itu, mari bersama-sama kita buang jauh persepsi bahwa senioritas identik dengan kekerasaan. Bersama kita ”stop kekerasaan” dan menciptakan generasi bangsa yang cinta damai untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia di hadapan dunia.

by: Reni M Lirista Sinaga

1 komentar:

  1. menurut saya kita harus merubah persepsi kita tentang senioritas. mari kita jadi kita senior sebagai guru (red. pengalaman mereka) kita dalam mengahadapi pesoalan di kehidupan. yang pasti kta tidak boleh tergantung pada senior terus, kita harus mampu mengambil keputusan sendiri


    as

    BalasHapus